BAB
II
PEMBAHASAN MASALAH
2.1 CANDI
BOROBUDUR
Borobudur adalah sebuah candi Buddha
yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah,
Indonesia.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km
di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta,
dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi berbentuk stupa
ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi
pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar
di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen
ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat
tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief
dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha
terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa
utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi
oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca
buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda
dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan
dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah
untuk menuntun umat manusia
beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai
ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di
dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam,
sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam
kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu
(ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut
bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.
Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur
telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO,
kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur
kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh
Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak.
Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang
paling banyak dikunjungi wisatawan
Dalam
Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala
disebut candi;
istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada
semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara,
misalnya gerbang,
gapura,
dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur
tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak
diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua
yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi
petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada
Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca
pada 1365.
Nama
Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis
Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu
yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai
berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah
'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang
berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".Akan tetapi
arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara
yang berarti gunung.
Banyak
teori
yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama
ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung"
(bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu
terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur
berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi
menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua
kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal
dari kata vihara,
sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur
artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali
yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama
yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan
J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk
mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan.
Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan
pendiri Borobudur adalah raja Mataram
dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga,
yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa
itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān
yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk
memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang
berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa",
adalah nama asli Borobudur
2.1.1
Sejarah
Tidak
ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan
antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini
sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra
di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75-100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga
pada tahun 825.
Terdapat
kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama
Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[23]
Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu.
Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja
beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan
suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung
Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan
candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur
diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal
sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan
sekitar tahun 850 M.
Pembangunan
candi-candi Buddha termasuk Borobudur
saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai
Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun
candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan
yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno,
agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan
dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat
persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang
menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi
pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai
jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi
dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan
2.1.2
Tahapan Pembangunan Candi
Para
ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa
besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek
perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti
menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut
adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1.
Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak
diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M).
Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan
pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari
batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga
menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup
struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai
bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup
struktur asli piramida berundak.
2.
Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi,
pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa
tunggal yang sangat besar.
3.
Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun,
undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti
tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar
pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya.
Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang
membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog
menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu
berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut
diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian
atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam
longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk
tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang
dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk
menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki
tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi
bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh
keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4.
Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti
penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan
pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
2.1.3
Pamugaran candi borobudur
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua
Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi. Foto-foto
yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.
Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah
menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang
terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara
Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen
Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian
Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi
dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang
membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan
memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari
halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki
lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan,
monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak
dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu
ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis
dan dipimpin Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali
tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel
batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa
di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat
diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan
sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan
dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang
memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih
seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak
dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra.
Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di
Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian
pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase
dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan
retakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya
kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian
bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi
lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi
tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir
1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan
permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi
melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur
dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen
ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkukuh dan
segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan
membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase
dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air
ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen
dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS. Setelah renovasi,
UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991. Borobudur
masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia
yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai
manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia,
dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan
tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan
jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan
gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra
yang memiliki makna universal yang luar biasa"
2.1.4
Arca
Budha
Selain wujud buddha
dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak
arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan
simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan
batu andesit.
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu,
diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin
berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104
relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72
relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di
tingkat Rupadhatu. Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran
melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang
(berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran
kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72
stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala
buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar
negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat
serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus di antaranya, yaitu pada mudra atau posisi
sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan,
Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran
Mahayana.
Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan
Barat, di mana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan
arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra:
Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha;
masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan
mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka mudra arca-arca buddha
di Borobudur adalah:
Arca
|
Mudra
|
Melambangkan
|
Dhyani Buddha
|
Arah Mata Angin
|
Lokasi Arca
|
Bhumisparsa mudra
|
Memanggil bumi sebagai saksi
|
Timur
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu
sisi timur
|
||
Wara mudra
|
Kedermawanan
|
Selatan
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu
sisi selatan
|
||
|
Dhyana mudra
|
Semadi atau meditasi
|
Barat
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu
sisi barat
|
|
|
Abhaya mudra
|
Ketidakgentaran
|
Utara
|
Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu
sisi utara
|
|
|
Witarka mudra
|
Akal budi
|
Tengah
|
Relung di pagar langkan baris kelima (teratas) Rupadhatu
semua sisi
|
|
Dharmachakra mudra
|
Pemutaran roda dharma
|
Tengah
|
Di dalam 72 stupa di 3 teras melingkar Arupadhatu
|
2.2
MUSEUM
DIRGANTARA MANDALA YOGYAKARTA
2.2.1
Sejarah Museum Dirgantara Mandala
Museum Pusat TNI AU
"Dirgantara Mandala" adalah museum yang digagas oleh TNI Angkatan Udara untuk mengabadikan peristiwa
bersejarah dalam lingkungan TNI AU, bermarkas di kompleks Pangkalan Udara Adi Sutjipto,
Yogyakarta.
Museum ini sebelumnya berada berada di Jalan Tanah Abang Bukit, Jakarta
dan diresmikan pada 4 April 1969 oleh Panglima AU Laksamana Roesmin
Noerjadin lalu dipindahkan ke Yogyakarta
pada 29 Juli
1978.
Alamat Museum, Komplek Pangkalan TNI AU Lanud
Adisutjipto, Yogyakarta Telp. 0274 - 484 453, Jam Kunjungan: Senin - Minggu
08.30 - 15.00.
Atas gagasan pimpinan TNI AU,
maka didirikanlah Museum Pusat TNI AU “Dirgantara Mandala” sebagai tempat untuk
mengabadikan dan mendokumentasikan seluruh kegiatan dan peristiwa bersejarah di
lingkungan TNI AU. Museum ini telah diresmikan pada tanggal 4 April
1969 oleh Panglima Angkatan Udara Laksamana
Roesmin Noerjadin. Awalnya, museum berada di
Jalan Tanah Abang Bukit, Jakarta. Akan tetapi, museum kemudian dipindahkan ke
Yogyakarta karena dianggap sebagai tempat penting lahirnya TNI AU dan pusat
kegiatan TNI AU. Dengan pertimbangan bahwa koleksi Museum Pusat TNI AU
“Dirgantara Mandala”, terutama Alutsista Udara berupa pesawat terbang yang
terus berkembang sehingga gedung museum di Kesatrian AKABRI Bagian Udara tidak
dapat menampung dan pertimbangan lokasi museum yang sukar dijangkau pengunjung,
maka Pimpinan TNI-AU memutuskan untuk memindahkan museum ini lagi.
Pimpinan TNI-AU kemudian menunjuk gedung bekas pabrik gula
di Wonocatur Lanud Adisutjipto yang pada masa pendudukan Jepang digunakan
sebagai gudang logisitik sebagai Museum Pusat TNI-AU Dirgantara Mandala. Pada
tanggal 17 Desember
1982, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal
TNI Ashadi
Tjahjadi menandatangani sebuah prasasti. Hal ini diperkuat dengan
surat perintah Kepala Staf TNI-AU No.Sprin/05/IV/1984 tanggal 11 April 1984
tentang rehabilitasi gedung ini untuk dipersiapkan sebagai gedung permanen
Museum Pusat TNI-AU Dirgantara Mandala. Dalam perkembangan selanjutnya pada
tanggal 29 Juli
1984 Kepala Staf TNI-AU Marsekal
TNI Sukardi meresmikan
penggunaan gedung yang sudah direnovasi tersebut sebagai gedung Museum Pusat
TNI AU “Dirgantara Mandala” dengan luas area museum seluruhnya kurang lebih 4,2
Ha. Luas bangunan seluruhnya yang digunakan 8.765 M2.
2.2.2
Koleksi Museum
Dirgantara
- Pesawat Ki-43 buatan Jepang
- Pesawat PBY-5A (Catalina).
- Replika pesawat WEL-I RI-X (pesawat pertama hasil produksi Indonesia)
- Pesawat A6M5 Zero Sen buatan Jepang.
- Pesawat pembom B-25 Mitchell, B-26 Invader, TU-16 Badger.
- Helikopter Hillier 360 buatan AS.
- Pesawat P-51 Mustang buatan AS.
- Pesawat KY51 Cureng buatan Jepang.
- Replika pesawat Glider Kampret buatan Indonesia.
- Pesawat TS-8 Dies buatan AS.
- Pesawat Lavochkin La-11, Mig-15, MiG-17 dan MiG-21 buatan Russia.
- Rudal SA-75
Museum Pusat TNI-AU Dirgantara Mandala baru-baru ini
mendapat tambahan koleksi berupa Prototype Bom sejumlah 9 buah buatan
Dislitbangau yang bekerjasama dengan PT. Pindad
dan PT. Sari Bahari. Bom-bom
tersebut merupakan bom latih (BLA/BLP) dan bom tajam (BT) yang memiliki daya
ledak tinggi (high explosive), sebagai senjata Pesawat Sukhoi Su-30,
F-16, F-5, Sky Hawk,
Super Tucano
dll.
2.3
TAMAN PINTAR
Taman Pintar Jogja merupakan tempat wisata untuk anak-anak maupun orang
dewasa. Selain dapat berwisata, anda juga dapat memberikan pendidikan baik
itu sejarah, sains dan pendidikan umum yang penting di ketahui oleh anak – anak
anda. Lokasi Taman Pintar ini berada di pusat kota Jogja yang jaraknya tidak
terlalu jauh dari Jl. Malioboro dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki yang kira-kira
hanya berjarak 300 meter dari perempatan Jl. Malioboro.
Terdapat berbagai macam wahana yang di tawarkan di Taman Pintar ini untuk
memberikan anak pembelajaran pendidikan yang sekaligus menyenangkan, sebut saja
program kreativitas yang tersedia di sini, anak-anak dapat memilih salah satu
program kreativitas untuk mengasah minatnya sejak dini. Harga yang di tawarkan
sangat bervariatif tergantung program kreativitas yang di minati masing-masing
anak, namun tidak perlu khawatir program kreativitas ini cukup terjangkau.
Beberapa diantaranya adalah Membatik, Lukis Kaos, Presenter TV, Pelatihan
Robotik, hingga Kontes Robotik hingga Kontes Roket Air.
Dulu tempat yang digunakan oleh Taman Pintar ini merupakan Toserba yang
mulai di akuisisi dan dilakukan perubahan pada tahun 2004 yang kemudian terus
di kembangkan sampai akhir tahun 2008, Taman Pintar di resmikan dan di tanda
tangani oleh Mantan Presiden RI Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini tentunya
bertujuan untuk memberikan pendidikan dan kreativitas sedini mungkin dengan
cara yang menarik dan juga mengasyikan.
2.3.1
Wahana Menarik di Taman Pintar Jogja
Terdapat 5 Gedung wahana yang setiap gedung terdapat beberapa objek wahana
didalamnya, berikut daftar wahana Taman Pintar:
a.
Gedung Memorabilia
Gedung
Memorabilia ini terdapat 3 wahana diantaranya,
1.
Wahana Sejarah : Sejarah Kesultanan Keraton Yogyakarta
yang didalamnya terdapat beberapa foto dan sejarah mulai dari Sri Sultan
Hamengku Buwono 1 sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwono 10.
2.
Wahana Tokoh Pendidikan terdapat beberapa pajangan
foto yang ikut berjasa dalam dunia pendidikan di Indonesia, seperti salah
satunya Tokoh Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Kiyai Haji Ahmad Dahlan.
3.
Perpusatakaan Kepresidenan yang memberikan sejarah
maupun pemahaman tentang Sejarah Kepresidenan RI, tentunya untuk menambah
pemahanan untuk anak-anak maupun remaja
b.
Gedung Oval
Didalam
gedung oval ini terdapat zona yang sangat banyak, jika didalam gedung
memorabilia terdapat 3 zona di gedung oval ini terdapat 10 zona yang dapat anda
kunjungi, beberapa diantaranya adalah Zona Aquarium Air Tawar, Zona Kehidupan
Pra Sejarah, Dome Area, Zona Cuaca Iklim & Gempa, Zona Tata Surya, Zona
Terowongan, Zona Teknologi Komunikasi, Zona Nuklir, dan masih banyak lagi yang
dapat anda kunjungi bersama anak-anak.
c.
Gedung Kotak
Gedung Kotak
ini dulunya hanya memiliki 10 zona namun seiring bertumbuhnya para pengunjung
maka pihak pengelola Taman Pintar menambah zona yang tidak kalah bermanfaat,
sekarang jumlah wahana yang berada di gedung kotak telah mencapai 29 zona yang
dapat di nikmati oleh anak-anak maupun remaja dan dewasa. Beberapa diantaranya
adalah Zona Sumber Daya Air, Zona Standar Nasional Indonesia (SNI), Zona
Indonesiaku, Zona Galeri Pusaka dan masih banyak lagi zona-zona menarik yang
terdapat didalam gedung kotak ini
d.
Gedung Planetarium
Terdapat
proyektor digital yang di desain khusus untuk menampilkan benda-benda langit
yang berada didalam gedung planetarium, sekaligus memberikan kenyamanan dengan
tempat yang dapat direbahkan sehingga pembelajaran tentang planet ini sungguh
menarik untuk mengajak anak-anak mempelajari tentang beragam benda langit.
Setelah pengenalan benda langit petugas planetarium memainkan film manusia yang
berada di bulan dengan durasi yang cukup lama.
e.
Gedung PAUD
Sesuai
dengan namanya, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang di khususkan untuk anak
yang berusia 2-7 Tahun yang memberikan tentang pemahaman untuk anak usia ini.
Sehingga sangat cocok untuk anda yang membawa anak dengan kriteria umur di atas
2.4
JALAN
MALIOBORO
Jalan
Malioboro adalah saksi sejarah perkembangan Kota Yogyakarta dengan melewati
jutaan detik waktu yang terus berputar hingga sekarang ini. Membentang panjang
di atas garis imajiner Kraton Yogyakarta, Tugu dan puncak Gunung Merapi.
Malioboro adalah detak jatung keramaian kota Yogyakarta yang terus berdegup
kencang mengikuti perkembangan jaman. Sejarah penamaan Malioboro terdapat dua
versi yang cukup melegenda, pertama diambil dari nama seorang bangsawan Inggris
yaitu Marlborough, seorang residen Kerajaan Inggris di kota Yogjakarta dari
tahun 1811 M hingga 1816 M. Versi kedua dalam bahasa sansekerta Malioboro
berarti “karangan bunga” dikarenakan tempat ini dulunya dipenuhi dengan
karangan bunga setiap kali Kraton melaksanakan perayaan. Lebih dari 250 tahun
yang lalu Malioboro telah menjelma menjadi sarana kegiatan ekonomi melalui
sebuah pasar tradisional pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Dari tahun 1758 – sekarang Malioboro masih terus bertahan dengan detak jantung
sebagai kawasan perdagangan.
Sejak awal degup jantung Malioboro berdetak telah menjadi pusat
pemerintahan dan perekonomian perkotaan. Setiap bagian dari jalan Malioboro ini
menjadi saksi dari sebuah jalanan biasa hingga menjadi salah satu titik
terpenting dalan sejarah kota Yogyakarta dan Indonesia. Bangunan Istana
Kepresidenan Yogyakarta yang dibangun tahun 1823 menjadi titik penting sejarah
perkembangan kota Yogyakarta yang merupakan soko guru Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dari bangunan ini berbagai perisitiwa penting sejarah Indonesia
dimulai dari sini. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi
ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda. Istana Kepresidenan Yogyakarta
sebagai kediaman Presiden Soekarno beserta keluarganya. Pelantikan Jenderal
Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti
pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada
tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Republik yang masih muda itu pun
dibentuk dan dilantik di Istana ini pula. Benteng Vredeburg yang berhadapan
dengan Gedung Agung. Bangunan yang dulu dikenal dengan nama Rusternburg
(peristirahatan) dibangun pada tahun 1760. Kemegahan yang dirasakan saat ini
dari Benteng Vredeburg pertama kalinya diusulkan pihak Belanda melalui Gubernur
W.H. Van Ossenberch dengan alasan menjaga stabilitas keamanan pemerintahan
Sultan HB I. Pihak Belanda menunggu waktu 5 tahun untuk mendapatkan restu dari
Sultan HB I untuk menyempurnakan Benteng Rusternburg tersebut. Pembuatan
benteng ini diarsiteki oleh Frans Haak. Kemudian bangunan benteng yang baru
tersebut dinamakan Benteng Vredeburg yang berarti perdamaian.
Sepanjang jalan Malioboro adalah penutur cerita bagi setiap orang yang
berkunjung di kawasan ini, menikmati pengalaman wisata belanja sepanjang bahu
jalan yang berkoridor (arcade). Dari produk kerajinan lokal seperti batik,
hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan
lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang
perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di
tempat lain. Pengalaman lain dari wisata belanja ini ketika terjadi tawar
menawar harga, dengan pertemuan budaya yang berbeda akan terjadi komunikasi
yang unik dengan logat bahasa yang berbeda. Jika beruntung, bisa berkurang
sepertiga atau bahkan separohnya. Tak lupa mampir ke Pasar Beringharjo, di
tempat ini kita banyak dijumpai beraneka produk tradisional yang lebih lengkap.
Di pasar ini kita bisa menjumpai produk dari kota tetangga seperti batik Solo
dan Pekalongan. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari
tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah bermotif batik.
Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik dengan harga
yang lebih murah. Berbelanja di kawasan Malioboro serta Beringharjo, pastikan
tidak tertipu dengan harga yang ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan
harga dari biasanya bagi para wisatawan.
Malioboro terus bercerita dengan kisahnya, dari pagi sampai menjelang
tengah malam terus berdegup mengiringi aktifitas yang silih berganti. Tengah
malam sepanjang jalan Malioboro mengalun lebih pelan dan tenang. Warung lesehan
merubah suasana dengan deru musisi jalanan dengan lagu-lagu nostalgia. Berbagai
jenis menu makanan ditawarkan para pedagang kepada pengunjung yang menikmati
suasana malam kawasan Malioboro. Perjalanan terus berlanjut sampai
dikawasan nol kilometer kota Yogyakarta, yang telah mengukir sejarah di setiap
ingatan orang-orang yang pernah berkunjung ke kota Gudeg ini. Bangunan-bangunan
bersejarah menjadi penghuni tetap kawasan nol kilometer yang menjamu ramah bagi
pengunjung yang memiliki minat di bidang arsitektur dan fotografi.
Berkembang pesatnya Malioboro sebagai denyut nadi perdagangan dan pusat
belanja, menuntut macam-macam pelayanan dan fasilitas yang semakin meningkat
baik jumlah dan ragamnya.
BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Maka dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat pariwisata yang ada di
Yogyakarta itu sangat banyak, dan kita harus senantiasa menjaga serta
merawatnya agar tetap asri seperti aslinya. agar menarik para wisatawan untuk
berlibur ke jogja.
Selain itu, kota jogja yang menawan itu tidak harus kita tambahkan dengan
budaya-budaya barat yang kita rasa sangat bagus atau trendy. tapi justru itu
salah,kita harus tetap menjaga budaya asli itu sendiri,agar mempunyai
keaslian yang khas dimata dunia.
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kota favorit para wisatawan
untuk berlibur dan menghabiskan sisa waktu istirahatnya di tempat-tempat wisata
1.2 SARAN
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ini banyak ditemui
kesulitan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik agar kami dapat
menyempurnakan karya tulis ini.
Demikianlah Kesimpulan dan saran dalam pembuatan karya tulis ini. Dalam
pembuatan karya tulis ini banyak sekali kekurangan-kekurangan, untuk itu
penulis sebagai manusia biasa mohon maaf atas segala keurangan dan kekhilafan.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . 1995 .Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka